oleh : Arief Budisusilo
Serius tetapi santai. Itulah kesan saya mengikuti kunjungan kerja Wakil Presiden Boediono ke Roma, Italia, 17-19 November pekan ini.
Serius, lantaran Pak Bud, begitu kami biasa menyapa Wapres, hampir tak pernah terlihat melontar guyonan di tengah aktivitas yang padat. Banyak isu yang dibicarakan, mulai dari pangan, TKI, keramik hingga kasus Bank Century.
Seluruh aktivitas kunjungan boleh dibilang dimanfaatkan untuk pembicaraan mengenai peluang kerja sama ataupun peluang kebijakan yang dapat diambil bagi Indonesia, utamanya dalam pembangunan ekonomi.
Sebaliknya dapat dibilang santai karena pembawaan Pak Boed yang tidak terlalu protokoler.
Bahkan selepas jumpa pers pada Rabu siang di top floor Hotel Hassler, tempat delegasi Indonesia menginap, Pak Boed yang melihat anggota delegasi dan wartawan mengenakan pakaian dinas lengkap dengan jas dan berdasi kemudian menginstruksikan seluruh anggota rombongan dan wartawan untuk melepas dasi saat berkunjung ke Museum Vatikan, Basilika St Peter, dan Colosseum.
Ketiga tempat yang memiliki nilai sejarah dan budaya yang tinggi itu memang menjadi target kunjungan kebudayaan Wapres saat berada di Roma di sela-sela KTT Pangan tersebut.
Museum Vatikan memamerkan beragam hasil karya berharga koleksi Gereja Katolik Romawi sejak berabad-abad. Paus Julius II mendirikan museum itu sejak abad ke-16.
Basilica St Peter adalah gereja dengan interior terbesar di dunia yang mampu menampung 60.000 jamaah. Dari segi arsitektur, konstruksi bangunan yang diselesaikan pada 18 November 1626 ini adalah capaian tertinggi di dunia pada zamannya.
Adapun Colloseum atau Colloseo merupakan bangunan teater terbesar di zaman Kekaisaran Romawi. Amphiteater berpintu 80 buah tanpa daun pintu itu mampu menampung 55.000 penonton.
Tempat itu, yang kini di dalamnya telah runtuh, pada era Kekaisaran Nero dipakai sebagai tempat hiburan rakyat dengan pertandingan manusia--tawanan perang, budak, atau penjahat kelas berat-- dengan binatang buas.
Tercatat pertandingan di Collos seum telah menewaskan 500.000 korban manusia dan membunuh lebih dari 1 juta binatang buas.
Mempelajari keramik
Selain kunjungan budaya, Wapres yang didampingi Ibu Herawati Boediono, menjelang pulang ke Tanah Air menyempatkan berkunjung ke pusat industri keramik di Deruta, Perugia, sekitar 135 km dari Roma.
Perjalanan dari hotel ditempuh sekitar 1 jam tanpa macet pada pagi hari berkabut, tetapi cuaca cerah.
Deruta adalah kota kecil di Provinsi Umbria, yang terkenal di seluruh dunia sebagai pusat kerajinan keramik klasik dan modern. Kerajinan Deruta sudah terkenal sejak zaman Etruscan, dan mencapai kesempurnaan pembuatan keramik pada era renaissance.
Di Deruta, Wapres mengunjungi pabrik Maioliche Oroginali Deruta di Ranocchia Ican & Co (MOD). Maestro seniman pelukis keramik di pabrik ini adalah R Ranieri, yang disebut-sebut sebagai salah satu pelukis keramik terbaik di dunia.
Wapres mengatakan bermaksud mempelajari teknologi keramik dari Italia, sekaligus mempelajari model usaha kecil dan menengah yang berhasil menciptakan produk berkualitas. Seluruh produk MOD dibuat tangan (hand made), dan perusahaan ini hanya mempekerjakan 25 orang pegawai.
Wapres juga mendiskusikan kemungkinan mengirim perajin keramik asal Indonesia untuk belajar teknik-teknik pembuatan keramik MOD.
Perusahaan ini memang membuka kelas belajar teknik pembuatan keramik yang menerima murid dari berbagai negara.
Kepada Wapres juga didemonstrasikan cara dan proses pembuatan keramik dari bahan mentah hingga finishing. Di tempat itu, saya jadi ingat film Ghost. Selain pria-pria yang cekatan membuat keramik dengan tangan, juga sejumlah perempuan cantik melukis motif di atas keramik yang sudah 'jadi'.
"Ini industri kreatif. Bukan hanya menjual piring untuk makan tetapi tempat makan yang bernilai....coba bayangkan satu piring dijual jutaan rupiah," ujar Pak Boed, seusai kunjungan itu.
Dia mengatakan Indonesia mempertimbangkan untuk mengirimkan artist ke Deruta untuk belajar proses pembuatan keramik dari awal sampai akhir termasuk teknologinya, kemudian disebarluaskan ilmunya ke rekan-rekan di Tanah Air.
"Kalau satu desa punya produk yang unggul, konsep seperti ini [Deruta] bisa dicontoh," tuturnya.
Ini seperti one village on product (OVOP) yang sudah berkembang di Thailand dan Jepang.
Urusan TKI
Selain 'mengurus keramik', dalam rangkaian perjalanan Wapres ke Roma, Italia, 17-19 November, dalam rangka menghadiri KTT Ketahanan Pangan itu Wapres juga bertemu secara bilateral dengan Wakil Perdana Menteri Malaysia Tan Sri Muhyiddin HJ Mohd Yassin. Kedua pemimpin sepakat menindaklanjuti hasil kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Kuala Lumpur beberapa waktu lalu.
Wapres dan Wakil PM Malaysia juga membahas tenaga kerja Indonesia di negeri jiran itu, di mana Boediono menyampaikan harapan perlunya penanganan yang lebih baik dan mencari penyelesaian fundamental agar masalah TKI tidak selalu menjadi sandungan hubungan kedua negara.
Malaysia pun sepakat mengenai perlunya penanganan masalah itu dan menghargai pentingnya peranan TKI bagi perekonomian Malaysia.
Kedua pemimpin juga membahas kerja sama pertanian, di mana peluang bagi Indonesia cukup besar mengingat masih sekitar 50% bahan pangan Malaysia dipenuhi dari impor.
Juga dibahas adalah peluang untuk meningkatkan kerja sama di bidang pemasaran minyak sawit mengingat produksi minyak sawit kedua negara sudah menguasai 80% pasar minyak sawit dunia.
Kedua negara sepakat bekerja sama agar harga minyak sawit dunia tidak mudah dikendalikan negara-negara konsumen seperti saat ini.
Di luar itu, Anda tentu bertanya, bagaimana sikap Wapres dengan perkembangan di Tanah Air, terutama soal isu 'cicak versus buaya' dan Bank Century?
Untuk soal ini, Wapres tak bersedia banyak bicara. "Soal pemberantasan mafia hukum, itu prioritas teratas dari program pemerintah," katanya.
Begitu pun soal Bank Century. Kebijakan soal Bank Century ditujukan untuk semua bank, bukan khusus untuk bank itu, "Untuk menyelamatkan perekonomian," kata Boediono. (arief.budisusilo@bisnis.co.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar